Turun saat naik, Naik saat turun

Ahad pagi, seperti orang frustasi saya pulang dari pasar, seperti biasa, sehabis sarapan segelas kopi dan gorengan. Entah kenapa, beberapa hari ini saya didekap rasa suntuk dan malas berlebihan, cucian numpuk, kamer berantakan dan bikin surat lamaran tidak juga kunjung saya kerjakan. Saya perlu refreshing saya pikir, menggerakkan otot dan otak yang kaku agar segar kembali, dan ntah tiba-tiba terfikir, Gunung Panderman.

Kenapa Panderman?! karena saya suka pohon-pohon, saya suka udara segar, saya suka desau daun, saya suka hal-hal yang masih alami, sekalian ingin membayar perjalanan sebelumnya yang gak sampai puncak dan gak sempat diabadikan (jepret-jepret). Selain itu, dengan Rp 10.000 bisa bolak balik, pun tidak butuh waktu lama, pagi berangkat sore bisa pulang, mengingat setelah Asar ada tugas yang harus dikerjakan.

Iseng saya sms salah satu temen, Mahya

“Jonk, ayu ke Panderman, sekarang!” gak sampe semenit

“Sek ntenono, aku mandi dulu yo?!” Eh, ternyata disambut.

“Tenan a?” aku malah ragu.

“Iyo!”

“Yowis ndang, tak tunggu sampe jam 08.00, Coz lupa aku tadi, habis Asar ada Pengajian.”

Singkat cerita, gak usah rencana berminggu-minggu, berhari-hari, bahkan dalam hitungan menit, perjalanan (saya sungkan mengatakannya Pendakian) ke Panderman itupun kami lakukan. Saya sempet bingung mau pake ransel baru/nggak, biar sedikit keren gitu, tapi akhirnya saya putuskan pake tas butut aja mengingat nggak terlalu banyak perbekalan yang harus dibawa, cukup sarung dan baju ganti buat shalat, sama air. Mahjonk menjemput saya bersepeda motor sekitar pukul 08.30an.

Ini adalah perjalanan saya yang ke2 ke Panderman, sebelumnya saya telah menjelajahinya seorang diri, hanya mencoba menantang diri bahwa saya berani, dan syukur saat itu perjalanan berjalan dengan sukses dan kembali dengan sehat. Kali ini saya melakukan perjalanan dengan Mahya, satu karena dulu sayapun pernah mengajak dia, dan yang kedua, biar ada temen buat moto-moto. :-D

Saya lupa pukul berapa, hanya saja yang saya inget masih jauh dari Toyo Merto (desa terakhir) motor Mahya “ngambek”, ngeden2 gak mau jalan. Gawat! kamipun turun, memang sejak masuk Pesanggarahan (sekitar 2-3km atau gtw ah! Sebelum Toyomerto) perjalanan sudah lumayan naik. Akhirnya dengan rela hati saya berjalan dan Mahya masih sempet mengendarainya, dijalan yang menanjak itu saya berlari-lari kecil (yang nantinya berakibat fatal) untuk mengimbangi jalannya.

Sampai akhirnya motor Mahya gak bisa dijalankan sama sekali, kami istirahat. Tiba-tiba perut dan dada saya perih, lapar tiada terkira. Bukan, bukan lapar biasa, lapar campur panas, pening, lemas, sayapun ingat rasa sakit seperti ini. Saya khawatir ini karena saya larilari naik tadi, belum sarapan. Saya pernah mengalaminya beberapa waktu yang lalu, beberapa kali. Idul Adha kemaren saya menggelepar saat hendak shalat Ied, saat itu saya sedang sakit diare, kemudian beberapa waktu setelahnya, saya tersungkur tak sadarkan diri saat saya merasakan rasa sakit itu tiba-tiba, ditengah saya mengumandangkan Adzan, sampai hari ini saya belum tau penyakit apa ini.

“Gawat jonk! Sek jonk!” teriak saya, dan kemudian duduk disamping Mahya.

“Aku sakit e… tadi belum sarapan” bisik saya pelan sambil memegangi perut, bersandar di “buk” tepi jalan, saya mencari “posisi enak” supaya tidak terlalu sakit, Mahya memperhatikan. Saya bergerak-gerak, menekan perut, mengikat jaket, bersandar, wajah menengadah menatap langit, saya masih sadar. Sayapun cerita “penyakit” saya, termasuk pengalaman waktu merasakan sakit semacam ini,

“Terus yaopo?! Mudun ae a?!” tawar Mahya, saya nggak enak,

“sek!” saya mencoba menahan karena nggak enak sudah ngajak2 dia, turun lagi. Tapi tiba-tiba fikiran saya ngelantur, saya seperti mau mati, bayanagan2pun terlintas…. Perih saya makin menjadi. Saya kedinginan, benar-benar kedinginan, lebih pening, keringat (dingin) keluar dari tubuh saya,

“turun aja jonk, turun.” Bisik saya pelan. walaupun nggak enak. Sepertinya saya gak mau ambil resiko.

“tapi bentar, tunggu lebih baik dulu” beberapa menit kemudian saya terus bergerak-gerak menghindari rasa sakit itu, Mahya memastikan kalo dia gak masalah pulang juga, bisa next time, daripada ntar nggotong saya di hutan katanya, saya diam, mengerang lirih sambil Istigfar menahan sakit.

Tapi, beberapa menit kemudian saya merasa lebih baik, dan fuihh…. Eh, bener-bener ajaib, rasa sakit tadi tak tersisa, saya benar-benar merasa baik. Saya bangun, ngangkat-ngangkat tangan kayak orang senam, tarik nafas panjang

“Lanjut jonk!” Mahya heran,

“Halah, tenan a?!”

“Oyi, gak popo aku!” saya benar-benar merasa sehat seperti awal, aneh, cuma sedikit capek karena lari-lari tadi wajar. Saya ceritakan rasa sakit tadi emang semacam penyakit “kumatan”, 10-15 menit selesai, habis itu selesai, tak tersisa. Walaupun saat merasakannnya fikiran bisa kemana-mana karena kadang serasa hampir mati.

“Yang penting pelan-pelan saja, dan kamu tungguin saya kalo saya Istirahat.” Akhirnya kamipun berjalan pelan, naik-naik sambil nuntun motor.

Saya nggak lihat Jam, mungkin sekitar pk. 10an, saat kami memulai pendakian. Di saat menitipkan Motor di rumah penitipan, kami bertemu beberapa pendaki mengambil sepeda motornya, hendak turun, menyapa kami Akrab. Sementara Mahya memasukkan motornya, salah satu dari mereka ngajak ngobrol

“Muncak mas?”

“Oh iya mas.”

“Berudua aja?! Kate nginep?!”

“Iya, oh nggak, mungkin sore pulang lagi.”

“sampe puncak apa latar ombo?”

“gak tau, lihat kondisi, kalo bisa ya sampe puncak mas!” mahya keluar dari rumah,

“Mari mas!”

“Oyi. Ati-ati Bro!” kamipun berjalan naik, sekitar 50 meter terlihat di Pos Satu-pun banyak pendaki Istirahat. Beberapa saya lihat perempuan.

“semangat! semangat!” terdengar suara mereka pelan saat kami melewatinya, kami menoleh dan tersenyum. Lucu.

Memasuki jalanan pertama yang masih berpaving, kami ngobrol tanpa topik, melihat jalanan berpaving, Mahya bilang enak ya kalo bawa tas kayak di bandara, tinggal di seret aja, katanya. Saya tertawa, ntar deh liat jalan di depan. Saya juga bilang ramenya Penderman ya tadi malem, malam Minggu, ehh… kita, orang-orang pada turun kita naik. Tadi di jalan juga sempet ditanya kenapa nggak kemaren aja?!

“Yo ngene iki mas wong nggak nggenah. Hahaha…. (mahya ketawa), Cuma refreshing aja.” Sayapun jadi ingat pendakian pertama dulu, saya turun saat orang-orang pada naik. Itulah kenapa saya beri judul, (saya) Turun saat (orang2) Naik, (dan saya) Naik saat (orang2) turun.

Malam mingguan di panderman sepertinya sangat seru, lain kali semoga ada kesempatan menikmatiny

a. Tidak perlu takut kesepian, saya lihat tadi mungkin mencapai 30 pendaki yang bergantian turun, ketemu di jalan desa tadi, di penitipan sepeda, juga di Pos I, dalam perjalanan naikpun kami sempat bertemu 3 (atau empat lupa) pendaki yang turun, salah satunya cewek. Kami sempat bersalaman.

Setelah melewati jalan berpaving tadi, saya beri tau Mahya kita sampai di POS 2, tempat pengisian air. Dan jalan yang kami lalui kemudian sudah merupakan jalan setapak. Pertama-tama Melewati perkebunan, kemudian disusul pohon-pohon pinus dan ilalang yang tumbuh tinggi atau “rumput gajah” kata Mahya, jalanan agak licin, apalagi saya tidak memakai sepatu gunung. Tapi sepanjang naik cuaca cukup bersahabat, walaupuan kabut tebal terlihat diatas. Jalan yang kemiringinnya tidak cukup tinggi, sampai yang harus merangkak kami lewati, kami harus ekstra hati-hati.

Sepanjang jalan, kami terus ngobrol walaupun dengan suara putus-putus karena ngos-ngosan, Mahya cerita tentang adanya lowongan PNS tapi dia tidak (atau belum) tertarik,

“Masih ingin menikmati hidup bebas.” katanya. Kemudian tentang rencana lanjut studi kami yang “tertunda”, mengejar beasiswa setinggi-tingginya ke luar negeri, Prancis, atau Belanda, kemudian akan menjelajahi eropa, dunia, tapi kini mulai terkikis realita, ingin berkarir, menikah. Walaupun saya pribadi (dia juga) tetap yakin akan bisa mewujudkannya. Sampai akhirnya kami menembus ilalang sangat tinggi san sampai di Latar Ombo, banyak hal yang sudah kami obrolkan, tentang hidup dan keberanian, tentang mimpi dan masa depan dan tentang perempuan tidak ketinggalan.

Sampai di Latar Ombo, terlihat seorang anak dan bapak-bapak memunguti sampah, botol Aqua dan terlihat beberapa botol Anggur,

“Ohh… sungguh mengharukan, mereka naik-naik setinggi ini hanya untuk memulung?!” batin saya.

“dan adaa baiknya juga kan untuk kebersihan gunung,” kata Mahya saat saya obrolkan tentang mereka.

Kami menuju batu tepi jurang, membuka bekal yang ada, roti dan gorengan bawaan Mahya, menikmatinya diantara kabut, diantara siraman matahari, diantara gemerisik dedaunan. Kemudian melanjutkan sesi selanjutnya, yaitu, sesi poto-poto. :-D

Selesai poto-poto saya lihat jam 12 lebih, kami sempat bingung dilanjutkan kepuncak atau turun, walanya kami akan turun.

“Tapi kayak belum kerasa ya?” kata saya.

“Iya, lha terus yaopo, aku sih manut ae orang belum tau jalan.”

“Ayu lanjut!” ajak saya. Tapi ternyata alam berkata lain, baru beberapa meter kami berjalan dari latar ombo, kabut semakin tebal dan gerimis. Ahh,,, alamt tak bisa mencapai puncak lagi. Akhirnya kami putuskan turun karena khawatir perjalanan memakan waktu dan tak bisa kembali tepat waktu. Sambil turun kami ditemani gerimis, harus lebih ekstra hati-hati karena jalanan lebih licin.

Pukul 13.30an kami sampai di Malang, mampir dulu di warung untuk makan sebelum kami kembali ke tempat masing-masing, mengistirahatkan diri sebelum besok beraktifitas kembali, mengikat kenangan rencana 5 menit, perjalanan 5 jam, tapi semoga membekas selamanya.


Komentar

  1. Pengen ikutan um. kapan2 k'lo Q ke Malang ke Panderman lgi yok. Ma jonk juga kayaknya seru.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seize The Day/ Carpe Diem

"Bahasa Inggris: Pasif!"

“Misteri HP mati di Panderman”