“Misteri HP mati di Panderman”

Sabtu kemaren, tanggal 2 Juli 2010 saya ke Panderman, dan barangkali bermanfaat, saya ingin sharing tentang perjalanan selama lebih/kurang 9jam tersebut. Sambil menulis ini, saya mencoba mengesampingkan jauh-jauh fikiran saya yang terus saja berkata
“sesuatu yang berarti buat kamu, belum tentu menarik buat mereka. Jadi untuk apa kamu membagi2kannya?!”

Jujur, ini adalah perjalanan pertama saya ke Panderman, yang “keangkerannya” sudah saya dengar sejak saya kuliah di semester 2 dulu, dan sejak saat itu pula saya sudah “nyidam” pengen naik Panderman. Tapi tak ada kesempatan dan karena banyak alasan, baru kemaren kesampean. Dan saya, ke Panderman, sendirian.
Untuk rutenya, singkat saja, dari pasar dinoyo saya naik LG terus turun di landungsari, dari landung saya naik “Puspa Indah” jurusan Jombang (Kediri juga bisa) terus turun pas di pertigaan depan gapura desa Srebet/ Pesanggrahan. Dari pesanggrahan, perjalanan seharusnya adalah jalan kaki (karna gada kendaraan umum lagi) menuju desa terakhir sebelum pendakian, yaitu Toyo Metro. Tapi mungkin nasib saya cukup baik, baru jalan beberapa menit dan sudah kecapean, tanpa sengaja seekor pick up lewat disamping saya, dan tanpa ba bi bu mungkin karena dandanan saya yang keliatan “pendaki banget” (jaket lusuh, ransel butut) si pick up berhenti, dan orang yang duduk disamping supir bertanya,
“munggah a bro?!”
“iya mas!”
“ayuk!” dan dengan sumringah naiklah saya ke pick up tersebut, sampe2 kaki kebentuk dan lecet. Ouh… bodoh!

Di atas pick up yang terus naik, gue (eh saya ding!) mikir, beuh! Jauh juga yah?! Naik2 lagi. Nggak kebayang kalo tadi jalan kaki, belum naik pasti udah tepar!

Singkat cerita, sampailah saya di penghujung desa toyo merto dimana ada Mushalla terakhir sebelum belok kanan dan menemui POS I (biasanya buat pendaftaran) pendakian. Alhamdulillah. Setelah yakin bahwa itu adalah POS I (sesuai gambar yang saya print dari hasil browsing) ada rasa lega juga. Saya nyalakan HP yang nggak nemu sinyal, saya pake buat muter MP3 saja, dan dengan ditemani Samson
“aku, adalah lelaki, yang tak pernah lelah mencari wanita” naiklah saya dengan riang dan gembira. Perjalananpun dilanjutkan. Eh, belum 100 meter, gue (ups! saya ding!) nemu jalan bercabang. Setelah menunggu wangsit, akhirnya ada seorang penduduk dan menunjukkan jalan yang benar untuk mencapai puncak, yakni, jalan lurusss….. Jalanannya berpaving, jadi enak, walaupun tetep aja capek. Saya ikuti sampe paving habis, kemudian ditemukanlah sumber air terakhir, ada gubuk kanan kirinya (yang sudah ancur), Persis seperti yang diceritakan hasil print2an saya dari google. :-D katanya sih, dulunya disitu adalah kamar mandi dan tempat peristirahatan, tapi ruangan2 untuk kamar mandinya sudah bener2 nggak kepake. Hanya tempat air yang menyembur deras dan bening untuk bekal pendakian masih tetap bisa dimanfaatkan.

Maka saudara-saudara, sesungguhnya kisah misteri itu diawali dari sini.

Tiba-tiba saja pemutar MP3 di HP saya mati. Pet! Saya putar2 ulang tetap nggak jalan. Saya lihat batre masih cukup. Saya coba buka memori card saya, biasanya memang ada lagu2 yang nggak bisa keputer, but, What?! Kosong! Memori card saya kosong (atau mungkin nggak bisa dibuka). Padahal didalemnya ada lagu2, nasyid, shalawat dan beberapa surat alqur’an, poto2 juga ada. Nggak tau kesalahan teknis apa yang terjadi, tapi yasudahlah saat itu saya tidak terlalu curiga (karena memang HP saya --SMART HAIER C 700—erroran). Maka sayapun melanjutkan perjalanan yang mulai melalui jalan setapak dan ilalang dengan kesepian.

Sejak jalan di paving tadi, saya udah berhenti beberpaa kali, dan sekarang mulai jalan di jalanan kerikil, panjaaanng terus jalannya. Beberapa kali saya menemukan jalan bercabang, dan seperti biasa, tanya penduduk setempat adalah cara terbaik. Kebetulan, karena saya naik pagi2, banyak penduduk setempat yang sedang mengerjakan kebunnya, atau sekedar nyari rumput. Udah lama, capek, kringetan, saya nemuin beberapa batu besar, sempat duduk diatasnya dan minum teh bawaan dari kost. Saya liat2 (baca) lagi cerita2 pendakian yang udah saya print. Dan begitulah setiap saya ragu, jika nggak ada orang yang ditanya, saya membuka catatan perjalanan orang2 yang pernh kesana.

Perjalanannya lancar, jalanan berdebu karena siang dan nggak ujan, jalannya juga cukup besar, so I interst it. Ditemani desau angin diantara pepohohonan pinus yang sangat kedengeran, tak terlalu ada rasa takut walaupun berjalan sendirian. Dan setelah naik, naik, naik, merangkak, tepar, jalan lagi, tepar lagi sampai beberapa kali, sampailah saya di Latar Ombo.

YEAAH!

Saya langsung berteriak, seneng banget! Sumpah, bener2 lupa tadi medan susahnya kayak apa. Di latar ombo ada tanah datar cukup luas, disini camp ground pertama yang memang biasa buat tempat camping. Pemandangannya,,, wuih… kayak dilukisan, itulah yang bisa saya lukiskan (aslinya karena gak bisa nglukisin). Setelah istirahat dan menikmati sarapan pecel, (oya, saya nyampe situ sekitar jam 10 lebih, jadi perjalanan dari POS I sampe latar ombo kurang lebih 2 jaman lah) energi sayapun terkumpul lagi, walaupun malah ngantuk karena anginnyaa sriwing2 terus menggoda. Tapi saya gak berani tidur ditengah hutan sendirian kayak gini. Maka saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan, menuju Watu Gede I dan Watu Gede II seperti yang diceritakan hasil print-printan (saya ngeprint sekitar 4 cerita orang yang udah ndaki).

Menuju watu gede I, jalannya kecil, sangat2 menaik sehingga harus manjat2, dan, entah… tiba-tiba hawa mistis itu benar-benar saya rasakan, sebagaimana yang saya baca dari print2an, katanya memang, saya mulai memasuki zona angker… but the journey must go on!

Suara angin niup-niup dedaunan pinus semakin menderu, mendesah, bergemerisik seakan berbisik, dalam kesendirian ini, dalam “keheningan” ini, saya benar-benar merasa hanya ada saya, alam dan Tuhan, dan sayalah yang paling kecil. Terlintas bayangan seandainya tiba-tiba ada makhluk hitam besar sedang duduk diantara semak2, apa daya saya? Kanan kiri saya semak, jurang, jalanan hanya setapak, berlari sama saja mencari mati. Terbayang jika saja tiba-tiba menggelosor ular besar, terbayang jika tiba-tiba saya asma, sesak nafas, jantung, ayan dsb, siapa yang akan segera menemukan saya?! Iya jika saya terkapar dijalan, bagaimana jika menggelinding ke jurang? Ah, kecil, keciiil sekali saya memikirkan diri dihadapan alam, apalagi Tuhan?!

Setelah sekitar 10-15menitan sampai di Watu Gede I, ke watu Gede II pun akhirnya di capai juga sekitar 10-15 menitan juga, sempat menemukan sinyal waktu di Watu Gede II. Di Watu Gede II, tanah datarnyapun lumayan luas, cocok untuk camp ground disini, hanya saja seperti tadi yang saya katakan, angker. Waluapun hawa mistisnya tidak seterasa dalam perjalanan tadi. Setelah beberapa menit mikir, apakah masih ada puncak lebih tinggi dan bagus karena saya lihat di depan masih ada jalan setapak, saat itu sekitar jam 11 lebih. Tapi karena refferensi yang kurang memadai, saya putuskan untuk kembali, selain tak mau ambil resiko tersesat atau sia-sia karena gak ada puncak selanjutnya yang lebih indah. Waktu nyampe lagi di Latar Ombo, istirahat minum-minum sebentar, terdengan suara sahut-sahutan dibawah, ada suara peluit, saya piker anak pramuka. Setelah nongol, ternyata kumpulan anak-anak seusia SMP, mungkin 5-7an anak ditemani 1 atau 2 bapak2, dengan peralatan lengkapnya sepertinya mereka mau kemping disini. Dari Batu, kata mereka setelah saya tanya, tapi rupanya agak sungkan melihat tampang preman saya.

Dalam perjalanan turun lagi, saya berpapasan dengan sekelompok remaja, sekitar 8-10an anak kira2, mungkin anak2 seusia SMA, sempet ngobrol2 juga, dan, dari Pujon kata mereka. Perjalanan turunpun dilanjutkan, dan saya salah, yang saya pikir perjalanan turun lebih menyenangkan, ternyata sama saja, berat dan ati-ati, bahkan sampe mendek2.

Saya nyalakan HP, sekitar jam setengah 1an saya sampai di POS II itu, yang saya bilang tempat pengambilan air itu, yang saya bilang MP3 saya mati tanpa sebab, dan tahukah sodara2, saat saya buka memori card saya, saat saya coba muter MP3 lagi, lengkap, ada semua, dan MP3-pun bisa menganlun begitu nyaringnya, dan, serrrr….!!! Tiba-tiba saja bulu kuduk saya merinding. Padahal sumpah, tadi waktu di latar ombo saya juga sempet nyalain, memori card masih kosong, MP3 gabisa diputer (jelas! Orang gada lagu yang mau diputer), di watu gede II, begitu juga dalam perjalanan naik, perjalanan turun, saya nyalakan untuk lihat jam dan saya coba muter lagu lagi (karena kesepian), tetep gak bisa. Maka saya matikan lagi karena baterai berkedip2, dan barulah di POS II itu, dimana tempat awal saya kehilangan suara musik saya, disitu juga saya mendapatkannya kembali. Subhanallah, sayapun mempercepat langkah saya untuk kembali.

Setelah shalat dan istirahat di mushalla, sekitar jam 2, saya lanjutkan perjalanan turun dengan jalan kaki, diantara jalan kelok-kelok dan menurun yang beraspal, yang tadi waktu naik saya lalui dengan nunut., cukup kunikmati pemandangan kota Batu/ Malang dari atas, dan dihadapan saya menghampar begitu gagahnya Semeru, seakan menantang atau mungkin mengundang, “Ayo, sekarang taklukkan aku!” dan diam-diam sayapun berazzam.

Di depan Gapura Pesanggrahan, saya bertemu kembali dg seorang remaja yang mau naik, dia masih nunggu sekitar 3 temannya katanya. Setiap malam minggu memang cukup ramai disana. Panderman, seperti tempat bermain sekaligus peristirahatan bagi para pendaki, karena tak terlalu tinggi, tapi juga tak terlalu rendah. 2045 mdpl itulah puncaknya. Jam 4, saya sampai kembali ditempat tidur, merebahkan diri, kemudian terlelap sampai hampir kehabisan waktu untuk berasar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seize The Day/ Carpe Diem

"Bahasa Inggris: Pasif!"