Kesepian dalam Ramai di Penanggungan


Di Puncak bayangan, ada sekitar 100an pendaki kira-kira malam itu, sebagian sudah menuju puncak berpapasan tadi pas aku turun, dan sebagian lagi sudah mendirikan tenda dipuncak bayangan. Ada yang bermain gitar, ada yang sedang ngobrol ditengah api unggun, ada yang khusuk, ada yang teriak2, sebagain anak SMA, sebagian mahasiswa mungkin, sebagain dewasa. Aku, baru saja turun dari puncak dengan ngesot setengah putus asa karena kakiku kaku, sendiian, kedinginan dan kelaparan.
Gelap, tak ada yang memperhatikan aku datang dari atas, mereka sedang sibuk dengan kerjaannya masing-masing, dengan temannya masing2, saya rebahkan diri diatas ilalang, memandang langit, indah, bintang kelap-kelip warna-warni. Didepan/ dibawah, juga indah lampu-lampu kota yang kelap-kelip, tapi aku tak bisa menikmati, kakiku kaku. Tak ada yang menyapaku, tak ada yang menegurku, Aku, ingat istriku, aku, kesepian ditengah ramai di Penanggungan.

Dulu, waktu saya masih PP Malang-Surabaya karena status kerja saya yang masih training, dari dalam bus saya selalu tertarik dengan pemandangan di sebelah kiri saya. Ada Arjuna, welirang, perbukitan, dan ada sebuah gunung yang... saya tak tau namanya. Gunung itu keliatan cukup runcing, ada benjolan dikanan kirinya, dan yang menarik, tidak seperti gunung2 lainnya yang rata3 semua hijau, yang itu ujungnya kelihatan berwarna coklat muda, seperti padang rumput yang kering, sampai saya membaca sebuah cerita INI, saya mulai menebak kalo itu adalah Penanggungan, dan ternyata iya.

Secara geografis, Ia terletak di desa trawas kabupaten mojokerto. Tingginya “hanya” 1.653 Mdpl, dlm catatan lain ada yang bilang 1.659 Mdpl. Bisa ditempuh rata2 4 jam dengan [erjalanan normal. Bisa 3 jam jika lebih cepat, dan bisa 3 hari 3 malam kalo sambil ngesot :P Tapi sebagaimana nasihat bijak para pendaki, jangan pernah meremehkan Gunung, betapapun pendeknya Ia, Gunung selalu menyimpan rahasia bagi para tamunya.
Saya memulai perjalan dari Sukodono – Sidoarjo sekitar pukul 10an, niatnya pagi, tapi karena ada ini itu di Rumah, akhirnya telat. Jam
12an baru nyampe Pos Perijinan PPLH yang tempatnya persis di depan kampus III UBAYA Trawas, setelah sedikit tersesat tentu saja (gak keren kalo petualangan gak ngalamin tersesat dulu. Wkwkwkw). Saya hanya berbekal Ransel berisi Air 1.5 liter, Air teh dalam botol 1 liter, roti dan sekotak nasi. Dan sebagai pemandu, saya ngeprint 2 catper/ info jalur pendakian yang pernah kesana. Fatalnya, ternyata POS saya memulai bukanlah POS yang diceritakan dalam “buku panduan” itu. Itu yang akhirnya membuat saya bingung, untungnya saya berangkat siang, jadi saya bisa nanya2 sama penduduk setempat yang pada pulang berkebun.

Jam 12.23 saya lihat jam, start dari POS perijinan. Sa
at saya memulai perjalan, di depan kampus UBAYA ada sekumpulan orang yang gelar tiker, ngopi dan ntah ngobrolin apa. Nyapa saya:
“mau muncak mas?!”

“Nggih” jawab saya sambil senyum
“Sendirian?”
“Nggih Mas?!”
“Wah. Bonek iki!” celetuk seseorang disebelahnya setel
ah saya agak jauh.
Sahabat, saya bukanlah bonek. Saya memang mendaki seorang diri, tapi saya kira sudah banyak orang yang melakukannya, pendakian solo bukanlah hal b
aru, hal aneh dan hal tabu. Ia sah-sah saja selama dilakukan dengan persiapan matang, tidak ada niatan sombong atau sekedar “keren-kerenan”. Dan saya memang tidak melakukakannya untuk itu.

Alasan utama kenapa saya “sering” melakukan pendakian
solo hanya karena “tak punya teman”. Jika ada teman, tentu saya akan lebih memilih bersama teman-teman. Tapi lingkungan saya berada, waktu dan kesempatan saya sebagai seorang karyawan baik, sering sangat tidak memungkinkan untuk menyalurkan hobi saya dengan teman-teman. Ingin sebenernya bergabung dengan grup-grup pecinta alam, tapi waktu saya tidak memungkinkan, atau sekedar ingin bergabung jika ada pendkian teman2-di OANC KASKUS, tapi ya begitu, waktu dan kesempatan slelau berseberangan. Makanya saya hanya bisa melakukan pendakian seorang diri.

Memulai perjalanan saya ditema
ni lagu-lagu dari handset cross saya yg muterin lagu-lagu wali, Avenged Sevenfold, Eminem juga Roma Irama, satu jam mungkin gak kerasa, berpapasan dengan beberapa penduduk yg pulang meladang dan dengan ramah menyapa, melewati sebuah gubuk, kebun tebu, akhirnya jalan makadam berbatu habis juga, memasuki jalanan setapak tanah dan dikelilingi kebun penduduk, saya ikuti saja jalanan lurusnya, jika ada percabangan saya tengok-tengok dan biasanya ada tanda panah di btang2 pohon yang menunjuk arah ke atas, ada yang pake tipe x, ada yg pake cat, tapi gampangnya pokoknya jalan lurus ajah nggak usah belok-belok. Memang awalnya sempet ragu, karena dari catper yg saya print, katanya akan nemuin pertigaan kecil dan ambil aja jalur kanan. Saya nemuin banyak banget pertigaan, hanya berbekal insting dan tanda panah yang tertera di pohon, akhirnya saya yakin jalur yang saya ambil benar, karena setelah beberapa lama tergelayuti keraguan saya berpapasan dengan 2 pendaki yang hendak turun. Yeah!
“sudah deket koq mas?!” jawab mereka setelah saya tanya. tidak lupa juga mereka menanyakan

“piyambekan mas?!” kata dekat ternyata tidak berarti cepet. Emang kalo diukur sih kayaknya udah deket, tapi kalo didaki, sambil ngesot. Luaaammaa....
Jalur yang dilewati sebagaimana gunung yg sebenarnya, terjal, kanan kiri hutan, tp tidak terlalu banyak pohon. Hanya beberapa pohon semak, kadang pohon pisang, pohon
randu, dan pohon (ntah). Yang pasti hutan di Penanggungan tak terlalu lebat sebagaimana gunung biasanya dimana banyak sekali pohon pinus, ilalang dkk. Tapi, berjalan seorang diri ditengh Hutan tetap saja membuatku deg-degan.

Sepi sekali saat saya berangkat, menapaki tanjakan demi tanjakan, bongkahan demi bongkahan, dan dalam kesepian itu, justru saya selalu merasa lebih dekat dengan 2 hal, Alam, dan Tuhan.
1 jam, 2 jam, saya blum nyampe2 juga. Keinget kata2 ibu penjaga warung tadi,
“kalo cepet paling 2 jam koq mas, k
alo lambat yah paling lama 4 jam”. Kesimpulannya, yg pasti saya bukan termasuk yang cepat berarti. Dari awal pemandangannya gitu2 saja, didepan tanjakan yang bisa membuat putus asa, dibelakang sama, disamping kanan kiri semak lebat beserta pohon2 gak beraturan, mencoba memandang jauh keatas, puncak nggak terlalu kelihatan, ketutup semak dan pohon.

Singkat cerita, saya ngeliat batu besar kejauhan, memori saya langsung saja
menebak, “that is pasti gua! Yeah! Udah deket berarti” saya sumringah jalan dipercepat, asyem! Gak sampe-sampe. dan, ouh my good, saya keliru. Batu itu jauh dikanan saya, bukan disamping jalan yang dilewati, dan setelah lumaan lama lagi, ternyata saya baru sampe puncak bayangan. Yang berarti masih jauh dari Gua.

Menatap puncak bayangan. Ouh.... saya senyum2 sendiri dan sedikit ketawa, entah kenapa. Antara menertawakan diri sendiri, dan seneng. Tapi saya cepet2 berhenti, takut kebablasan.
Puncak bayangan berupa tanah datar yan
g lumayan lapang, ditumbuhi ilalang tinggi, cukup untuk mendirikan 10 tenda. Tempat ini biasa dijadikan camp ground kalo para pendaki sudah bener2 merasa lelah. Perjalanan bisa dilanjutkan setelah istirahat pagi hari sekitar 1,5 jam dari situ. Dari sini puncak sudah kelihatan sangat jelas, terlihat landai, rata, seperti rumput di lapangan. Tapi saat didekati, naujubileh,,, aku sempet kram 2 kali.

Pendakian dr puncak bayangan ke puncak beneran, dalam benak bisa ditempuh setengah jam dengan enjoy karna keliatannya datar banget, sempet ketawa kare
na membaca cerita (yg aku jadiin panduan) katanya pendakian sebenernya bisa dibilang mulai dari sini. Karena terjal banget, harus harus disiapin stamina bener-bener katanya. Dalam hati,
“Mana? Mana?! Katanya terjal! Ah, cuma segini.” kata batin saya sambil senyum-senyum. Setelah minum beberapa tenggak dan telpon istri kl saya sudah sampe puncak bayangan, akhirnya sayapun melangkahkan kaki lagi menuju puncak beberapa menit kemudian,
“Anjrit!” ternyata cerita yang kubaca itu nggak boo
ngan. Jalan terjaaaal.... berkerikil, nggak ada pohon, hanya rumput sejenis ilalang, licin, sangat berbahaya, sedikit lengah bisa terpeleset, dan sekali terpeleset mungkin baru bisa berhenti 1 jam kemudian terus terguling2.. Saat itu juga aku ucap istighfar, minta maaf pada Tuhan dan sang gunung. Akhirnya aku putusin untuk duduk, dan makan saja bekel yang saya bawa. Ada nasi, lauk jamur crispy dan sambal. Selesai makan minum fatigon air kelapa. Seger rasanya.

Dan perjalananpun dilanjutkan, dengan ngesot. Lama,, entah nggak ngitung waktu berapa lama, nggak sampe-sampe juga, aku sempetin update status ke facebook. Kira-kira setelah satu setengah jam atau kurang, akhirnya aku sampe ke gua juga, Gua seperti yang diceritakan dalam “panduan” saya. Pintunya kecil, tapi dalemnya lumayan kira2 muat untuk 3-4 orang. Bisa buat nginep tanpa harus mendirikan tenda, tapi kalo hujan kayaknya tetep kebocoran karena atapnya bolong, dan alasnya hanya tanah basah. Sempet berfikir turun aja krena kondisi badan bener2 ampun., bisa mencpai puncak ntar, aku pikir, pada pendakian kedua. Tapi nanggung juga...

Akhirnya dengan sisa tenaga yang ada, dengkul yang dipaksain, tertatih, merangkak, nggelosor, ngesot, tepar, sempet kram di betis, di paha, dengan wajah berbinar saya langung tersenyum, sumringah saat akhirnya sampai juga melihat puncak. Yeah, puncak penanggungan 1.653 Mdpl, setelah merangkak sekitar 4,5 jam. Yang pertama saya ingat saat itu, saya belum shalat ashar. Segera saya ambil tayamum, dan langsung gelar sarung sebagai alas. Dingin..... angin puncak tiba-tiba menerpa sangat dingin, padahal sebelumnya nggak. Saya bersujud disana, ngadep Gusti Allah, mensyukuri nikmatnya atas kaki ini, mensyukuri nikmatnya atas mata ini, mensyukuri nikmatnya atas segala hal yang kumiliki hingga bisa mengantarkanku ke sini, Allah maha besar, Allah maha kuat, aku hamba kecil kerdil yang sangat lemah. Selesai shalat Ashar, ternyata terdengar adzan maghrib dari bawah sana :P

Mata saya menyapu puncak, lu
as juga, terlihat ada beberapa lobang yang kayaknya gua tapi seperti buatan anak-anak. Saya dilema, saat itu. Turun, atau nunggu pendaki lain saja dan ikut gabung nginep sama mereka, megingiat saya nggak bawa tenda, nggak bawa sleeping bag. Dua jaket yang saya rangkap sangat tidak cukup menahan dingin. Turun, resiko tinggi. Kaki (terutama lutut) kayaknya cedera. Apalagi gelap2, apalagi dengan jalur yang baru saja aku lewati tadi, mbayanginnya... argh! Akhirnya dengan ragu saya turun. Jalan mulai benar-benar gelap. Untung bawa senter. Beberpa menit, sejam mungkin, ternyata baru nyampe gua lagi. Dengan ngesot, benar-benar ngesot. Kaki sudah bener-bener krasa gak kuat dibawa jalan. Aku sms istri nyeritain kondisi saya. Saya sempet bilang nyesel, sangat nyesel. Kenapa “sombong”. Naik turun gunung gak istirahat sama sekali. Gak bawa persiapan cukup.

Dilema sangat. Di bawah keliatan para pendaki naik, dari senternya, kayaknya banyak sekali rombongan naik malam ini, suaranya juga terdengar, gaduh. Bingung, bener-bener bingung, istri sempet saranin balik lagi aja, nta
r ikut sama temen tidurnya. Tapi balik lagi bisa jadi 2 jam. Aku lihat sudah jam 8 malam ternyata, kalo kembali bisa jam 10 Gila. Naik satu jam setengah, turun satu jam setengah belum setengahnya samasekali. Dari atas, aku liat sepertinya ada api unggun karena warnanya kemerah2an dan tidak bergerak sepeti senter. Itu pasti para pendaki yang ngecamp dipuncak bayangan saya pikir. Saya bisa gabung dengan salah satu rombongan disana, daripada harus balik lagi ke puncak. Ngesot lagi, terpeleset lagi dan lagi, sambil terus mengutuki diri karena gak bawa persiapan saya turun dan lalui entah berapa jam, berpapasn dengan beberapa rombongan yang melewati puncak bayangan dan menuju puncak, sampai akhirnya Allah, nylametin saya sampai puncak bayangan.

Dipuncak bayangan, masya Allaj, ternyata sudah BANYAK SEKALI para pendaki yang sudah mendirikan tenda. Nggak ada yang merhatiin saya. Mungkin karena nggak ada yang liat saya baru tutun dari atas. Saya duduk selonjor setelah menem
ukan tempat yang agak lengang, membuka ransel makan roti yang tersisa, minum, lalu gabung dengan salah satu kelompok disana. Setelah ngobrol dikit, saya numpang tidur / istrahat di atas terpal yang mereka jadikan alas. Meraka nggak ndiriin tenda, karena hanya istirahat, sekitar pk. 11 mereka akan melanjutkan ke puncak katanya. Rombongan anak2 SMA sekitar 28 orang. Sayapun mencoba terlelap, awalnya satu kaos, 2 jaket lumayan kerasa hangat. Tapi setelah lama diam, ditambah satu sarung bener2 nggak cukup. Kaki tambah kaku. Nggak bisa tidur tapi lumayan bisa nglurusin kaki, walaupun sbnernya jadi tambah kaku. Demam saya sempat kambuh (karena pas berngkat aku emang dalam keadaan setenga demam). Tolak angin terakhir sudah saya minum di puncak tadi. Ntah jam berapa, pas anak-anak mau nglanjutin perjalanan ke puncak, mungkin jam 11an sperti kata mereka, saya memutuskan untuk turun. Saya harus sampai bawah malam ini.

Setelah nanya2 karena jalan turun nggak keliatan, akhirnya saya turun seorang diri. Nglewatin hutan, ditengah gunung gelap gulita, jam 11 malam. Subhanallah, aku ngasain gada rasa takut/merinding saat itu. Senter saya hanya tertuju pada jalan setepak yang saya turuni, mata tertuju pada tanah/batu yang kira2 paling baik untuk saya injak, terpeleset, jatuh, mewarnai jalan turun saya. Ternyata masih banyak juga yang baru naik, saya kira ada jika seratusan, karena terdiri dari banyak rombongan, sebagian ada belasan, ada yang ber 2, tapi ada juga yang rombongan dengan kaos seragam pecinta alam, entah anak2 SMA atau Mahasiswa, banyak cewek2nya juga. Singkat cerita, sampailah saya diperkebunan penduduk, sudah satu jam lebih pastinya saya jalan. Dari sana saya nggak lagi papasan sama manusia yang cukup menghibur ditengah sepinya hutan dan malam. Hening. Gelap. Sayapun nggak terlalu sering tengok kanan kiri atau belakang. Mata hanya tertuju pada jalan yang akan saya injak yang diterangi senter. Perasaan merinding justru datang saat saya sampai bawah, melewati jalanan datar. Ada perasaan makhluk2 lain sedang mengawasi saya, atau mungkin lagi ngobrolin saya keheranan jalan malam ditengah hutan sendirian.

Allahuakbar alhamdulillah, Allah nyelamatin saya sampai pos pendakian juga. Jam setengah 2 pas aku cek. Disana ketemu ibu penjaga wrung yang masih melek. Dan juga beberapa SATPAM UBAYA yang tadinya hendak tidur, mereka terbangun karena kedatangan saya. Mereka ngobrol2 bentar dan atas ide ibu penjaga warung, mereka membuat api unggun. Ingin ikut gabung sebenrnya, tapi badan dan kaki, remuk! Sayapun ijin sama bu warung numpang istirahat. Sementara mereka menyalakan api unggun, saya berusaha tidur ditengah dingin dan kram, otot kaku, di lereng penanggungan, yang malam itu memberikan banyak pelajaran pada saya....

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seize The Day/ Carpe Diem

"Bahasa Inggris: Pasif!"

“Misteri HP mati di Panderman”