Coban Rondo, Debur Airnya Ngangenin


Hari senin 23 Agustus kebetulan kerja Libur, niat ke Malang untuk silaturahmi ke Masjid (tempat saya tinggal dulu selama kuliah) yang tertunda-tunda ingin segera dilaksanakan, apalagi Istri udah nyindir2 tiap hari, katanya mau diajak maen. Akhirnya ba’da Dzuhur, bersama si “Evek” (nama motor saya) yang baru saja di servis, saya dan Istri beragkat ke malang sekitar pukul 2an. Alhamdulillah, perjalanan lancar tanpa hambatan, menghindari macet, saya mencoba jalan alternatif ke Malang lewat Ngaban, belok kiri sebelum melewati jalan raya porong/ lumpur, melewati ex tol gempol yang udah nggak ke pake. Lumayan lebih jauh juga.

Sekitar pukul 15.45an kami sampai di Malang, udara dingin udah mulai krasa, Saya ngajak Istri shalat Asar dulu di Masjid Tarbiyah (UIN Malang), bernostalgia dengan kenangan disana, melihat mahasiswa/ santri2 pada tadarus/ muraja’ah Al Qur’an di pojok2 ruang masjid, baca2, melingkar membuat diskusi, tapi ada juga sebagian yang hanya tiduran atau ngobrolin hal tak penting mungkin menunggu shalat/ setelah shalat. Terenyuh, kangen suasana itu. Selesai shalat, saya lanjutkan keliling kampus, mengenalkan beberapa tempat dan gedung disana pada Istri, serasa jadi guide dadakan. Yang membuat saya agak kaget, saat saya melihat gedung fak Psi dan IPS ternyata sudah berganti nama Gedung Megawati Soekarno Putri.
“Loh, kok jadi gitu? Apa yang nglunasin gedungya megawati?” keluh saya sama Istri.
“Ada gedung nama-nama presiden paling, ntar yang lainnya pake nama Gedung SBY, gedung Abdurrahman Wahid.” Jawab Istri nebak. Hampir saja mau saya bantah, eh ternyata bener, gedung perpustakaan sekarang sudah ganti nama “Gedung Abdurrahman Wahid.” Nggak tau SC atau Rektorat apakah sudah ganti nama juga.

Setelah selesai keliling2, saya ajak Istri mampir di rumah yg dulu saya tempati saat saya jadi tukang foto copy. Jl. Sunan Ampel 4 dekat SMP 13 Malang. Disana saya ketemu sama ibu kost juga bapaknya, dan anak2nya yang dulu masih kels 2/3 SD dan menjadi teman bermain saat sya suntuk. sekarang sudah pada SMP dan agak malu-malu saat saya temui. Memang sih, sudah lebih dari 3 tahun saya tidak bertemu mereka.

Perjalananpun dilanjutkan ke tujuan utama kami Masjid Asy-Syahriyah Perumahan Dosen dan Karyawan Universitas Brawijaya kel. Tlogomas, sebelah barat UNISMA tempat akhir saya tinggal selama +/- 2 tahun diakhir2 masa mahasiswa saya. Setelah ikut buka bersama, tarawih, dan silaturahmi dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya temui disana sekaligus memperkenalkan Istri baru saya (?), saya memutuskan untuk nginep di Mahya, temen kuliah yg msh tinggal dideket kampus, sementara Istri saya titipin ke Adik.

Singkat cerita, pagi-pagi pukul 7an sebelum pulang saya ngajak istri jalan, masuk kerja malem, jadi masih ada waktu. Saya putuskan untuk ke Pujon - Malang dengan tujuan utama Coban Rondo. 5 tahun tinggal di Malang, justru setelah tidak tinggal di sana saya baru bisa mengunjungi tempat ini. Perjalanan kelok-kelok dan naik di kota batu dengan menaiki motor warisan berusia 18 tahun (sepeda motor saya F1 tahun ’93) membuat saya sempat khawatir, tapi Subhanallah si Evek menunjukkan baktinya pada sang majikan dengan baik, dia membawa kami dengan nyaman sampai Coban Rondo. Sekitar pukul 9an kami sampai.

Papan Wisata Coban Rondo terlihat dengan jelas dari jalan raya Malang – Jombang, beberapa puluh meter setelah gapura selamat datang di kabupaten Malang (keluar dari Kota Batu). Dulu saya pikir, dari jalan raya itu Coban Rondo udah deket, tapi ternyata,.. iya kalo sampe Pos Pendaftarannya sih gak terlalu jauh, tapi dari pos ke air terjunnya, ouh ternyata....

Setelah mbayar tiket masuk @Rp. 8.000,- Tiket motor Rp. 2.000,- dan PMI 2 lembar 1.000 total 19ribu, saya masuk mengikuti jalan yang ada. Nglewatin Villa, ada semacam warung2, saya lanjutin terus mengikuti plang terpampang Air Terjun +/- 1,8 KM. Kendaraan saya jalankan pelan-pelan, sambil mencoba menikmati pemandangan, dan ngobrol sama istri. Setelah beberapa lama nggak nemu2in Air Terjunnya, saya sempet bingung bener/ nggak jalan yang kami tempuh, tapi hanya ada satu jalan. Udah nglewatin tempat perkemahan, kebun-kebun bahkan hutan juga. Sepi.... Sempet mau turun nanya sama petani yang kebetulan kami temui, tapi kebun mereka jauh diatas kami. Jalan yang kami lewati dibawah mereka. Kami terus saja jalan pelan-pelan, berharap nemuian orang lewat atau apalah, asal manusia. Tapi sebelum nemuin orang, kami nemuin lagi plang Coban Rondo Waterfall dengan arah panahnya. Mantep dah.
Nggak berapa lama kamipun sampai di tempat parkir sepeda motor. Alhamdulillah ternyata ada banyak manusia juga disana. Banyak warung, ada penjaganya, ada beberapa pekerja juga yang lagi bikin warung baru. Hufhhh... sempet mikir takutnya di deket air terjun nggak ada orang, udah jauh dari perkampungan, mbayanginnya menuju air terjun harus jalan kaki nglewatin jalan setapak juga. Takut naruh parkir dimana. Serba bingung lah.

Setelah menaruh Evek dengan aman, saya mengikuti arah ke Air terjun, nggak jauh, hanya 100 meteran kira2 dari tempat parkir. Air terjun yang tingginya 85 meter (katanya sih) di ketinggain 1.100an mdpl, udah kelihatan dengan megahnya. Sayapun sumringah, walaupun sepi, hanya ada satu keluarga yang saya lihat lagi pada mandi.

Di Kompleks Air Terjun, fasilitas yang ada cukup lengkap. Ada toilet, Musholla, dan disekitarnya ada beberapa keterangan tentang air terjun. salah satunya, tentang legenda dari masyarakat sekitar tentang Air Terjun Itu.

Konon, Dahulu kala ada sepasangan pengantin yang baru melangsungkan pernikahannya. Mempelai wanita bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi yang akan menikah dengan Raden Baron Kusuma dari Gunung Anjasmoro. Setelah 36 hari (selapan) menikah, Dewi Anjarwati mengajak suaminya untuk berkunjung ke Gunung Anjasmoro. Namun orang tua Dewi Anjarwati melarang karena baru “selapan” menikah. Tetapi keduanya bersikeras pergi dengan segala resiko apapun yang akan terjadi di perjalanan.
Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Joko Lelono. Tampaknya Joko Lelono tertarik dengan kecantikan Dewi Anjarwati. Selanjutnya Joko Lelono berusaha merebut Dewi Anjarwati dari Raden Baron Kusuma. Perkelahianpun tidak dapat dihindarkan, sebelum berkelahi Raden Baron Kusuma memerintahkan para punakawan (pendamping) agar membawa Dewi Anjarwati ke suatu tempat yang ada Cobannya (air Terjun). Pertempuran antara dua orang ini berlangsung seru. Karena sama mempunyai ilmu yang sama keduanya gugur dalam perkelahian itu.

Dengan meninggalnya Raden Baron Kusuma maka Dewi Anjarwati menjadi jandda atau “rondo” dalam bahasa Jawa. Sejak saat itulah air terjun yang ditempati Dewi Anjarwati lebih dikenal sebagai Coban Rondo. Konon lagi, batu besar yang ada dibawah air terjun itu merupakan tempat dudu sang putri.


Saya dan Istri langsung menuju Air terjunnya, sebagaimana tujuan utama, poto-poto. :p hanya saja sayang, hasrat menceburkan diri dalam dinginnya nggak keturutan karena nggak bawa pakean ganti. Jadilah saya hanya bisa menyentuh menyiram muka saja. Beberapa kali kami bolak-balik ambil pose, gada yang bagus. Saya minta istri terus ngulangin :p Setelah agak lama, beberapa pengunjung lain dateng juga, kebanyakan (atau semuanya) berduaan, muda-mudi. Bahkan ada yang sempet ngajakin ngobrol, dan setelah nanya saya puasa nggak, minta ijin ngerokok karena gak puasa katanya.

Satu jam-an kira-kira kami menikmati air terjun, sebelum pulang saya sempatkan berwudhlu di sungainya, dan kemudian shalat Dhuha di mushalla. Mensyukuri kesempatan yang dia berikan. Dan berharap lebih banyak lagi tempat Indah yang bisa kami jelajahi. Semata-mata hanya untuk lebih mengenal-Nya, ngaji ayat-ayat kauniyahnya.
Jam 11an kira-kira, kami pulang. Istri meminta kapan-kapan kami ke situ lagi, ingin mandi katanya, dan ingin menjelajah mencari Coban Pengantin yang ada diatasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seize The Day/ Carpe Diem

"Bahasa Inggris: Pasif!"

“Misteri HP mati di Panderman”