Kita, antara kemaren, saat ini, dan yang akan datang (surat untuk temen2 TL)

Saat itu saya masih inget lagi berdiri di persimpangan jalan, (maksudnya di belokan antara gedung UKM dulu-Tarbiyah) dan seorang gadis kecil, imut, pembawaannya ceria menemuiku,
“Mas, minta sodaqohnya mas!” ya nggak lah! Yang bener gini,
“Ini yah yang namanya Umar?!” dia dateng bersama seorang Mudrika yang sudah saya kenal sebelumnya dan seorang cewek (baca:Ukht) yang sekarang saya kenal sebagai Habibah, yang sudah bersuami. Gadis kecil nan Imut itu sekarang saya kenal sebagai Zizie, Azizah Hefni.

Selang beberapa saat, dari kegelapan depan gedung UKM, muncullah makhluk yang juga gelap, 2 makhluk seingetku waktu itu, dengan bahasa aneh mereka sedang ngobrol. Saat muncul, terlihatlah kalau mereka adalah manusia, yang saat ini saya kenal sebagai Edi Slenger dan Fakhru Rozi. Edi Slenger adalah makhluk unik sejenis Homo Narsis Suka Pipis yang pernah saya tahu di Al Farobi, sedang Rozi, baru saat itu.

Singkat cerita, kita berkumpul di Attarbiyah, saling memperkenalkan diri, saling bercanda, saling cerita, saling tertawa, saling teriak, saling jerit-jerit, saling lari-lari, sampe saling guling-gulingan. (Lah, emangnya orang kesurupan masal?!)
Itulah pertemuan pertama yang saya inget, yang membawa kami, kita pada deklarasi yang melahirkan sebuah wadah alias komunitas dengan bendera, “Tinta Langit” disitu terdapat juga Duroh dan Djuned 19 yang belum saya sebutkan.

Saya masih inget pertemuan-pertemuan selanjutnya pernah bergiliran menyampaikan pikiran-pikiran, harapan-harapan, yang ingin diwujudkan dalam komunitas yang baru dibentuk itu. Cinta, saya hanya ingin mendapatkan cinta yang bisa menghidupkan saya, cinta yang bisa menuntun saya, cinta yang bisa membuat saya tertawa lagi, cinta yang sempurna. Cintanya Kangen Band kalo itu mah? Pendeknya, saya ingin mendapatkan apa yang hilang yang dulu pernah saya miliki, dalam komunitas ini, kebebasan berekspresi, mencintai dan dicintai tanpa batas 2 manusia. (Ah! Pokoknya begitulah!) itulah yang saya sampaikan waktu itu.

Dan pertanyaannya, sudahkah saat ini, setelah 3 tahun lebih, Tinta langit mampu mewujudkan harapan-harapan itu?! Tinta langit adalah saya, Rozi, Slenger, Djuned 19, Tamim, Zizie, Mudrika, Bibah, Ily, dan Duroh, bukan siapa-siapa.


Sudahkan diri saya mampu mewujudkan harapan dari harapan sembilan temen-temen? Sudahklan diri saya mampu mewujudkan apa yang saya harapkan dari diri saya sendiri?!
Apa yang telah berubah dari kita masing-masing dari sebelum, dan sesudah kita membentuk komunitas ini? Berubah dalam artian bertambah, lebih baik, lebih maju! Adakah perubahan yang didapatkan itu?!

Saya kemudian menjadi teringat simulasi yang ditontonkan Syamsa Hawa, penulis novel dari Bandung waktu kita kencan di masjid tarbiyah, dia menunjukkan simulasi itu setelah saya tanya, apa yang menjadi motivasi, dan dari mana motivasi itu dia dapatkan untuk terus menulis?

Dia mengambil sepatang pensil. Kemudian memegangnya.
“Coba tolong kamu sentil pinsil ini sekuat tenaga.” Saya nurut. Dan ternyata pensil itu lepas.
Dia ngambil pensil itu dan menggenggamnya lagi. Lebih erat.
“Coba sekarang kamu sentil lagi, dengan sekuat tenaga.” Saya nurut lagi.
“Pletuk!” Telunjuk saya kesakitan. Pensil gak lepas.
“Nah, ini adalah perumpamaan darimana motivasi saya untuk terus nulis.” Katanya mulai menjelaskan.
“Simulasi tadi memperlihatkan, ketika kita memegang pensil itu dengan pelan, lemah, maka ketika ada goncangan dari luar dengan mudah pensil itu terlepas. Sebaliknya yang kedua tadi, saat pensil itu saya pegang dengan kuat, sekeras apapun sentilan yang kamu berikan ternyata pensil itu masih tetep saya pegang. Itu menunjukkan bahwa, lepas tidaknya pensil tadi bukanlah sentilan dari luarnya, tapi pegangan yang saya berikan. Artinya yang paling berpengaruh dalam memberi, mempertahankan motivasi kita bukanlah dari lingkungan luar, tapi diri kita sendiri. Ya saya akui lingkungan juga cukup mempengaruhi misalnya mamah yang selalu mendorong saya, FLP, tapi yang plaing kuat adalah diri saya sendiri.” Panjang juga. Kurang lebihnya begitulah.

Dan sekarang saya jadi berfikir, benarlah apa yang dikatakan Syamsa itu. Saya pernah ikut FLP, pernah jadi ketuanya bahkan (walupun nggak tanggung jawab: Hihihi…), sekian banyak buku motivasi nulis saya baca, dari yang punya Afifah Afra sampe Hernowo sampe Prabowo. Saya ikut kursus menulis di PenulisLepas.com, dan yang pasti, saya di Tinta Langit. Tapi apakah itu sudah cukup mempengaruhi, merubah diri saya jadi rajin dan pinter menulis, saya harus jujur, nggak!

Satu-satunya karya saya yang pernah dimuat dimedia adalah di Harian surya, rubrik Warteg, dan saya belum bisa bangga. Dan apakah saya menyalahkan komunitas saya, karena belum bisa membuat saya lebih baik, karena tidak bisa merubah saya jadi pinter dan rajin menulis? Nggak mungkin lah.

Justru melalui tulisan ini saya ingin menyadarkan diri saya sendiri, dan jama’ah sekalian (halah, khotib jum’at banget!) bahwa motivasi menulis tidak ada hubungannya dengan komunitas, lingkungan luar, tapi dari diri kita sendiri. Memunculkan motivasi menulispun bukan dari luar, dari komunitas, tapi dari diri kita sendiri, Mempertahankan motivasipun bukan dari luar, tapi dari diri kita sendiri.
Jadi kalo ingin rajin menulis, kalo ingin pinter menulis, nggak usah ikut-ikutan komunitas, nggak usah ikutan seminar-seminar, nggak usah ikutan kursus-kursus, cukup kamu niat : “Bismillah” langkah selanjutnya, menulis, menulis dan menulis. Itu saja.
Nah, kalo gitu apa dong gunanya Tinta Langit?!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seize The Day/ Carpe Diem

"Bahasa Inggris: Pasif!"

TaHuRa Juanda a.k.a Dago Pakar a.k.a Goa Jepang dan Goa Belanda