Belajar Kehilangan, di Firdaus Memorial Park

Taman Wakaf Pemakaman Muslim
Kehilangan, siapapun akan menyatakan sebagai sesuatu yang menyesakkan, menyakitkan. Apalagi jika kehilangan itu adalah seseorang yang tercinta dan sudah menyimpan banyak memori dalam hidup kita.

Beberapa waktu ini, selama beraktifitas di WakafPro 99 dan aktif di Program Firdaus Memorial Park, saya sering bertemu dengan orang-orang yang kehilangan. Kehilangan suami, istri, ibu, ayah, anak, kerabat dan rata-rata mereka menangis, terpukul bahkan seakan terpuruk. Sebuah reaksi wajar memang sebagai makhluk yang diberi rasa, kita menangis saat kehilangan, karena sayapun pernah mengalami kehilangan.

Suatu waktu saya pernah mendampingi pengantaran jenazah keluarga Dhuafa dari RSHS ke satu daerah di Indramayu, seorang anak usia 7tahunan, mengidap kanker dan tak tertolong. Yang turut mendampingi dalam mobil jenazah tersebut adalah kedua orang tuanya. Saat jenazah kami angkat dari meja dorong rumah sakit, sang ibu mulai menangis, sempat berhenti saat perjalanan kemudian menangis lagi, berhenti dan menangis lagi. Begitu juga saat saya turut mendampingi beberapa jenazah baik yang dimakamkan di pemakaman umum maupun menuju lokasi Firdaus Memorial Park, hampir kesemuanya diirngi tangis pilu kerabat dan orang-orang sekitar yang mencintainya.

Menangis, adalah reaksi pertama kita saat kehilangan. Tapi jika kita mampu berfikir saat itu, sesungguhnya apa yang telah kita berikan pada mayit dengan menangis? Tidak ada, selain hanya untuk diri kita sendiri. Artinya kita menangis ternyata hanya untuk keegoisan kita sendiri, karena mayit tidak membutuhkan itu (tangisan). Dan lebih buruk lagi, jika sebenarnya kita menangis bukan karena kepergiannya, tapi justru ternyata karena memikirikan kita yg ditinggalkan olehnya. Jika demikian, sungguh betapa egois kita ini. Kenapa saya bisa berfikir seperti itu karenai seringnya saya mendampingi dan berada ditengah orang-orang yang kehilangan membuat saya turut merasakan dan seakan mengalami kehilangan itu berkali-kali, sehingga saya kemudian belajar dari itu semua.

Kita bisa melihat contoh seperti anak kecil yang menangis saat ditinggal pergi orang tuanya. Ia menangis bukan karena ibunya pergi, tapi karena dia tidak diajak. Begitulah kira-kira tangisan kita saat terpisah dengan orang-orang tercinta. Sepertinya bukan untuk dia, tapi untuk diri kita sendiri.

Saya tidak mengatakan sebaiknya kita tidak menangis, menangislah, tumpahkanlah, karena egopun harus dilepaskan, itu boleh karena kehilangan itu menyakitkan. Hanya saja kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan itu, selanjutnya kita harus segera memikirkan keadaan dan apa saja hal-hal yang Ia butuhkan dan hak-haknya atas kita yang ditinggalkan, kita harus segera melepaskan ego tersebut. Karena kini ia tak lagi bisa berbuat apa-apa, kini ia membutuhkan banyak bekal untuk perjalanannya, dan kitalah yang bisa membantu Ia melewati perjalanan itu.


Kita pantas menangis jika kita memang belum memberi bekal atau kita tau ia tidak membawa bekal yang cukup untuk perjalannya, maka kiriman-kiriman bekal dalam perjalanannya menjadi sangat penting. Berdoa untuknya, mengamalkan ilmu-ilmu yang pernah diajarkannya dan bersedekah/ berwakaf atas namanya. Insya Allah itu semua bisa menjadi tambahan bekal dalam menapaki perjalanannya menuju tempat yang indah, yang terbaik disisi Rabb-nya. Sehingga bukan lagi tangisan, tapi senyum kebahagiaan yg turut mengiringinya, karena Ia pergi untuk menuju tempat yg lebih baik, karena ia pergi untuk menjemput kebahagiaan yg lebih, maka kitapun bahagia jika Ia bahagia, itulah sebenar-benar cinta. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seize The Day/ Carpe Diem

"Bahasa Inggris: Pasif!"

TaHuRa Juanda a.k.a Dago Pakar a.k.a Goa Jepang dan Goa Belanda